Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, melanjutkan pembukaan dengan menyatakan bahwa terdapat 459 perusahaan industri yang ditargetkan untuk mengadopsi langkah efisiensi energi guna mendukung swasembada energi sebagai salah satu prioritas nasional.
Di sisi lain, Kepala Pusat Industri Hijau dari Kementerian Perindustrian, Apit Nugraha, mendorong pelaku industri untuk bertransformasi menjadi industri hijau, mengingat kebijakan pengurangan emisi di sektor industri akan segera diberlakukan sesuai dengan target Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Ia juga menyoroti peluang bagi Energy Services Companies (ESCOs) untuk masuk ke sektor industri sebagai Green Industry Services Company (GISCO).
Sesi diskusi pertama membahas kondisi terkini industri. Serupa dengan temuan dalam lokakarya sebelumnya, beberapa perusahaan telah menerapkan Sistem Manajemen Energi ISO 50001, meskipun masih terdapat beberapa hambatan. Sebagai contoh, pelaku industri, terutama perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sering menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pendanaan modal (CAPEX). Selain itu, pelaku industri memandang pengembalian investasi (ROI) untuk teknologi efisiensi energi memakan waktu yang cukup lama, dan adopsi teknologi efisiensi dapat meningkatkan biaya produksi.
Oleh karena itu, dukungan diperlukan dalam bentuk opsi pendanaan berbasis operasional (OPEX) sebagai alternatif dari CAPEX, audit energi untuk menilai kebutuhan efisiensi dan elektrifikasi di fasilitas industri, panduan terstruktur untuk penghematan energi pada peralatan (seperti motor, boiler, furnace, kompresor, dan pendingin), informasi mengenai teknologi baru yang dapat meningkatkan efisiensi energi, serta pelatihan teknis dan non-teknis untuk meningkatkan kesadaran mengenai penggunaan energi yang lebih efisien.
Lokakarya ini menghadirkan berbagai sektor industri, termasuk dari sektor kimia, pulp dan kertas, besi dan baja, semen dan materi bangunan, makanan dan minuman, tekstil dan garmen, pupuk dan bahan kimia, serta kaca dan keramik. Beragamnya peserta yang hadir menunjukkan minat lintas industri dalam mengembangkan proyek efisiensi energi dan mengatasi tantangan terkait.
Sesi berikutnya membahas pandangan dan tantangan yang dihadapi ESCO. Sesi diawali dengan pemaparan cakupan layanan ESCO yang beragam, dengan beberapa ESCO berfokus pada efisiensi gedung, dan yang lain berfokus pada sektor industri tertentu. Meskipun sudah ada pertumbuhan, pengembangan ESCO di Indonesia masih terbatas. Perbedaan ekspektasi terkait periode pengembalian investasi sering menimbulkan kesenjangan, di mana pelaku industri menganggap ROI 10 tahun terlalu lama, sedangkan ESCO menganggapnya relatif singkat. Beberapa industri juga enggan bermitra dengan ESCO karena khawatir akan dampaknya terhadap solvabilitas keuangan mereka, sehingga memilih untuk membeli teknologi langsung.
Bahkan ketika ESCO dilibatkan, perannya sering kali hanya sampai pada tahap rekomendasi, karena industri merasa mampu mengimplementasikan langkah penghematan energi secara mandiri. Untuk mengatasi tantangan ini, ESCO bersama lembaga keuangan perlu menyesuaikan penawaran mereka sesuai kebutuhan spesifik masing-masing industri. Selain itu, diperlukan regulasi dan kebijakan yang lebih kuat untuk mendukung pengembangan dan ekspansi ESCO di Indonesia.
Sesi ketiga membahas kekhawatiran yang disampaikan oleh industri dan ESCO, yang menyoroti kecenderungan lembaga keuangan untuk lebih berhati-hati (risk-averse) dalam memberikan pendanaan untuk kegiatan efisiensi energi yang masih dianggap berisiko. Hal ini mungkin disebabkan oleh masalah jaminan atau ukuran pinjaman yang relatif kecil. Lembaga keuangan perlu didorong untuk mengambil risiko lebih besar dalam mendanai efisiensi energi. Sesi ini juga menampilkan presentasi tentang Mekanisme Penjaminan dari GuarantCo dan Asuransi Penghematan Energi (Energy Saving Insurance/ ESI) dari CEFIM (Clean Energy Finance and Investment Mobilisation). Mekanisme penjaminan dan ESI dapat membantu mengurangi risiko pada proyek efisiensi energi yang masih dianggap berisiko tinggi dengan imbal hasil rendah.
Berbeda dari lokakarya sebelumnya, sesi terakhir ditutup dengan sesi speed-dating yang bertujuan untuk mendorong kolaborasi antara perusahaan industri, ESCO, dan lembaga keuangan guna mendukung kemitraan dalam proyek efisiensi energi. Salah satu sorotan dari sesi ini adalah pandangan industri terhadap pembiayaan hijau. Pinjaman Berbasis Keberlanjutan (Sustainability-Linked Loans/SLLs) memerlukan kriteria yang komprehensif, termasuk penilaian berbasis KPI dan verifikasi pihak ketiga, yang dapat meningkatkan biaya terkait. Sementara itu, SLL umumnya menawarkan tingkat bunga yang sebanding dengan pinjaman konvensional, sehingga industri lebih memilih pinjaman konvensional karena proses persetujuannya lebih cepat dan biayanya lebih rendah. Untuk mendorong adopsi SLL yang lebih besar, lembaga keuangan perlu menawarkan suku bunga yang lebih kompetitif. Selain itu, dukungan dari pemerintah, khususnya melalui regulasi yang memfasilitasi pengadaan melalui skema penghematan, sangat diperlukan untuk membantu ESCO. Regulasi semacam ini dapat menjadi pedoman yang jelas bagi pengembangan ESCO dalam industri.
Lokakarya ini menghadirkan lebih dari 100 peserta, baik secara daring maupun luring. Perwakilan dari 24 perusahaan industri mempresentasikan perkembangan terkait efisiensi energi mereka, sementara 14 ESCO berbagi wawasan. Dalam acara ini, 16 lembaga keuangan juga berbagi informasi tentang produk keuangan mereka untuk sektor energi.
Klik disini untuk mengakses materi pembicara dan ringkasan berupa key takeaways dari acara.