Jakarta, 28 Agustus 2024 – Sekretariat JETP menyelenggarakan Lokakarya Pendanaan Efisiensi Energi yang mengangkat tiga sesi diskusi, yaitu perkembangan proyek efisiensi energi di sektor industri, tantangan pendanaan untuk proyek efisiensi energi, dan skema pendanaan inovatif.

Lokakarya ini dibuka dengan sambutan dari Andi Yulianti Ramli, Deputi Asisten di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi mewakili Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, melanjutkan sesi pembukaan dengan menekankan bahwa efisiensi energi adalah pemantik pertama dalam transisi energi, memberikan solusi yang hemat biaya dibandingkan investasi energi terbarukan skala besar. Ia berharap berbagai proyek percontohan (pilot project) dapat dikembangkan dan pada akhirnya mencapai tahap pembiayaan dan implementasi.

Sesi pertama diskusi dimulai dengan pemaparan dari para peserta mengenai langkah-langkah konservasi energi dan inisiatif elektrifikasi yang diterapkan di perusahaan masing-masing. Mayoritas perusahaan industri yang hadir telah mengadopsi strategi Manajemen Energi, termasuk audit ISO 50001 dan analisis biaya jangka panjang. Faktor pendorong utama dari inisiatif ini meliputi kepatuhan terhadap regulasi baru, peningkatan daya saing, penghematan biaya, dan kesadaran yang meningkat terhadap dekarbonisasi, ditambah dengan akses ke pembiayaan hijau serta roadmap berkelanjutan atau emisi nol bersih yang telah ditetapkan. Perusahaan juga melaksanakan berbagai aktivitas efisiensi energi, seperti peningkatan efisiensi operasional melalui perkembangan teknologi, pembaruan peralatan, digitalisasi, dan pilot project energi terbarukan. Namun, mereka menghadapi hambatan berupa biaya yang tinggi, ketidakjelasan regulasi, dan persyaratan jaminan dari bank.

Pada sesi diskusi kedua, para peserta mengkaji peluang dan kendala finansial yang dihadapi perusahaan industri dalam menerapkan proyek efisiensi energi dan elektrifikasi. Disoroti bahwa beberapa bank di Indonesia yang sudah menawarkan Sustainability-linked Loans (SLLs) dengan fleksibilitas ukuran tiket berdasarkan ambang batas efisiensi energi atau dampak lingkungan yang ditentukan secara kolaboratif. Namun, meskipun sudah ada penawaran seperti ini, transisi menuju teknologi rendah karbon membutuhkan biaya awal yang tinggi, sementara skema pembiayaan saat ini kurang menarik karena persyaratan jaminan tradisional masih berlaku, dan penghematan biaya dari inisiatif efisiensi energi saat ini belum dapat digunakan sebagai jaminan.

Selain itu, industri umumnya menginginkan periode pengembalian investasi (ROI) dalam 5-7 tahun untuk investasi efisiensi energi, dengan mempertimbangkan jumlah, target, dan skala proyek mereka. Namun, kebutuhan akan investasi awal (CAPEX) yang signifikan menjadi hambatan bagi banyak perusahaan. Sebagai tanggapan, banyak organisasi mencari kolaborasi dengan Energy Services Company (ESCO) atau pemasang panel surya pihak ketiga yang dapat menyediakan opsi pinjaman atau leasing. Pergeseran ke pembiayaan berbasis OPEX dapat memberikan alternatif dari model CAPEX tradisional, sehingga meringankan beban biaya awal dan membuat proyek efisiensi energi lebih terjangkau bagi bisnis.

Diskusi terakhir mengeksplorasi skema pembiayaan potensial untuk proyek efisiensi energi yang dipresentasikan oleh Climate Policy Initiative (CPI). CPI memaparkan bahwa menurut data dari Sistem Pelaporan Manajemen Energi Online EBTKE, lebih dari 50% proyek efisiensi energi di Indonesia dibiayai dengan jumlah di bawah Rp1 miliar (~USD 600.000). Selain itu, pencapaian efisiensi energi pada tahun 2023 hanya mencapai 24,1% dari target pengurangan emisi sebesar 132,25 juta ton CO2 pada 2030. Hal ini sebagian disebabkan oleh persyaratan jaminan yang tinggi dan risiko tinggi yang dianggap menghalangi banyak ESCO mendapatkan pembiayaan. Oleh karena itu, mekanisme penjaminan sangat penting untuk mendukung pembiayaan proyek efisiensi energi dan mengurangi risiko. Mekanisme ini meliputi penjaminan kredit parsial, penjaminan kerugian awal, dan penjaminan portofolio. Model pembiayaan lainnya, seperti model pengguna akhir/ESCO dan penggabungan proyek kecil, juga dapat dieksplorasi untuk mengurangi risiko. Lembaga seperti KDB dan Guarantco dapat bertindak sebagai penyedia jaminan. Tingkat cakupan jaminan akan bergantung pada profil perusahaan yang terlibat, yang memerlukan penilaian mendalam dan verifikator terpercaya untuk memastikan pencapaian kinerja energi sesuai dengan regulasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).

Diskusi ditutup dengan himbauan untuk studi lebih lanjut dalam mengeksplorasi skema dan mekanisme pembiayaan tambahan, serta dukungan pemerintah yang diperlukan melalui regulasi dan insentif untuk memfasilitasi investasi efisiensi energi. Selain itu, ditekankan pentingnya dialog berkelanjutan di antara peserta untuk mengembangkan solusi komprehensif terkait pembiayaan efisiensi energi di Indonesia. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 pemangku kepentingan dari berbagai sektor, mendorong kolaborasi antara perusahaan industri termasuk BUMN, perusahaan domestik swasta, dan perusahaan asing, serta lembaga keuangan.

 

Klik disini untuk mengakses materi pembicara dan ringkasan berupa key takeaways dari acara.